laporan
Novel
Tanpa Huruf R; Potret Masyarakat Yang Sakit
Harry
Mulyawan
Aria Kusumadewa
is back. Setelah beberapa waktu lalu Aria muncul dengan Beth, sempat
nongol sebagai bintang iklan maka Aria kali ini kembali hadir dengan
dengan Novel tanpa Huruf R.
Film ini bercerita
tentang karakter bernama Drum yang lekat dengan berbagai peristiwa kekerasan
semenjak kecil. Ayah, ibunya, kekasih hingga anjingnya pun mati karena
kekerasan. Hingga pada sebuah kesempatan ia bertemu dengan karakter
lain bernama Air Sunyi, yang memiliki nama yang sama dengan nama ibunya,
yang memberinya sebuah kesadaran baru.
Eksistensi
Manusia
Kekerasan. Itu yang terlihat sepanjang film ini. Novel tanpa Huruf R
sendiri merupakan sebuah gambaran masyarakat Indonesia yang absurd,
vulgar, brutal, penuh hiruk pikuk. Potret masyarakat yang sakit terekam
dalam tiap scene.
Mencermati lebih dalam
film Novel tanpa Huruf R ini, Aria lebih dari sekedar menampilkan tema
kekerasan yang menjadi tema sentral dalam kehidupan sehari-hari, menu
kita bangun tidur saat menikmati kopi pagi dari berita-berita di koran
hingga malam hari saat kita beristirahat menonton teve.
Eksistensi manusia
sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk dengan akal pikiran yang menjadikan
manusia sebagai makhluk mulia. Manusia sebagai subyek, manusia sebagai
obyek dari manusia lain merupakan tema utama dalam film Novel tanpa
Huruf R ini.
Adegan film ini dibuka saat Drum dan Ayahnya tergeletak di atas pasir
pantai. Berlanjut pada perkembangan kehidupan Drum baik secara fisik
maupun kejiwaannya. Sejak kecil Drum terbiasa melihat darah dan kematian.
Ayahnya yang bekerja sebagai jagal kerbau, lingkungan kerja turut membentuk
karakter dan realitas di dalam dan sekitar diri Drum.
Kekerasan
sebagai realitas terkonstruksi
Kekerasan yang terekam erat dalam benak Drum, kekerasan yang dipraktekkan
di dalam masyarakat oleh unsur-unsur mayarakat itu sendiri, ibunya yang
hilang dan mati saat mereka dikejar-kejar hingga ke pantai oleh penduduk
setempat karena suatu hal yang tidak terlalu dijelaskan dalam film ini.
Kekerasan yang dipraktekkan
oleh aparat hingga lingkungan kerja sebagai wartawan kriminal yang sarat
dengan peristiwa kekerasan: pembunuhan, pembantaian. Kekerasan menjadi
sebuah konsumsi yang disukai masyarakat. Semakin vulgar berita kekerasan
semakin disukai publik. Media sebagai sebuah penyampai berita juga disindir
tajam dalam film ini sebagai sebuah pewarta nilai-nalai dengan moral
pasar, moral kekerasan itu sendiri.
Semuanya menjadi berbagai
kepingan yang membentuk sebuah realitas dalam diri Drum: kekerasan,
realitas itu diyakini drum sebagai sebuah kenyataan hidup yang dijalaninya.
Hingga suatu saat, konstruksi realitas yang terbangun dalam diri drum
mendapat tentangan saat dirinya bertemu dengan Air sunyi, seorang tokoh
antesis bagi realitas dalam diri Drum.
Interaksinya dengan
Air sunyi yang dibangun melalui hubungan yang tidak 'normal' dimana
Air sunyi disekap dan diikat oleh Drum, membuka kesadaran akan sebuah
nausĂȘe (meminjam istilah Sartre) atau kemuakkan akan realitas
yang hidup dalam dirinya.
Pada saat itu Drum
membuang segala hal yang berkaitan dengan hal yang mengkonstruksi realitas
kekerasan dalam dirinya, membakar semua potongan berita-berita kekerasan,
novel Kejet-kejet-nya, literatur dan teve yang membawa semua pesan kekerasan.
Sejak awal sepertinya
film ini telah dipersiapkan sebagai sebuah tragisme bagi tokoh Drum,
kehilangan ayah tercinta, kekasih, hingga Adik yang dipenjara karena
membunuh. Hal ini menjadi begitu terasa pada scene akhir film ini sebagai
klimaks dari kisah tragis ini, dimana Drum mempertanyakan eksistensi
dirinya, Tuhan, dengan sebuah pertanyaan bernada gugatan kepada sang
Khalik.
Potret
masyarakat sakit
Berbagai perilaku menyimpang, vulgar dan absurd terekam jelas dalam
tiap scene dalam film ini, semua yang dilakukan baik secara sadar maupun
tidak oleh tiap-tiap indivudu dalam masyarakat. Tiap individu yang bingung,
yang mencari caranya masing-masing untuk melampiaskan semua hasrat yang
terpampat.
Hubungan antar manusia
dalam film ini juga digambarkan sebagai sebuah konflik yang terus menerus
terjadi dan mereka ciptakan sendiri. Kekerasan diniscaya sebagai sebuah
bentuk penyelesaian setiap konflik yang terjadi. Manusia menjadi obyek
bagi lainnya, manusia merupakan kesialan bagi pihak lain. Pada saat
itu manusia tak lebih sebagai sebuah binatang berakal, yang menyatakan
dirinya melalui kekerasan.
Film
sebagai bahasa simbol dan pesan
Dalam film ini Aria banyak menggunakan bahasa simbol untuk menyatakan
maksudnya. Selain itu Aria secara halus melalui tokoh Drum, mengajak
kita untuk meneropong jauh ke kebelakang atas semua peristiwa kekerasan
yang terjadi dalam masyarakat untuk mencari jawaban serta mengetahui
secara jelas apa yang terjadi.
Sebagai sebuah film,
Novel tanpa Huruf R sarat dengan berbagai pesan moral dari sang sutradara
itu sendiri sebagai kreator. Film sendiri sebagai sebuah karya memiliki
unsur-unsur dasar yang membentuknya menjadi sebuah kesatuan yang utuh.
Unsur-unsur dasar
dalam film Novel tanpa Huruf R cukup terjaga, gerak kamera yang efektif
terasa bisa menyampaikan pesan yang dimaksud dalam tiap adegan. Tata
suara yang juga berhasil membangun dramatisasi, tapi seperti yang dikatakan
saudara Anton sebelumnya, para pemain dalam film ini kurang berhasil
untuk untuk memunculkan ekspresi emosi dari tokohnya. Musik yang menjadi
latar belakang film ini juga terasa kurang maksimal. Akan tetapi sebagai
sebuah karya seni, film Novel tanpa huruf R ini merupakan sebuah karya
yang utuh dan otentik. Viva film Indonesia!
***
ceritanet
©listonpsiregar2000
http://id.wikipedia.org/wiki/Novel_tanpa_huruf_R